deky yoga
Sabtu, 29 Juni 2013
deky yoga: PERSOALAN KEMISKINAN
deky yoga: PERSOALAN KEMISKINAN: Kemiskinan merupakan salah problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam membahas masalah ini adalah indeti...
Selasa, 11 Juni 2013
Struktur masyarakat petani padi di desa tegalyasan kecamatan sempu kabupaten banyuwangi
Masyarakat
Indonesia yang sangat plural memang menjadi suatu topic bahasan yang tidak akan
habis bila dikupas, keragaman etnik yang ada menjadi suatu ke eksotisan bangsa
Indonesia, Indonesia bagaikan surge yang ada di dunia, dimana pernah ada yang
mengatakan bahwa tongkat serta batu pun bias tumbuh di tanah bumi pertiwi ini,
maka itulah mengapa banyak sekali masyarakat Indonesia banyak bermata
perncaharian sebagai seorang yang bercocok tanam atau dapat dikatakan petani.
Indonesia memberikan berbagai macam lahan yang dibutuhkan untuk bercocok tanam,
karena bertani itu juga Indonesia dapat dikenal oleh Negara-negara yang lain
dengan slogan “macan asia”, hal itu dapat diraih karena apa? Dengan jelas di
jawab dapat diraih dengan adanya system cocok tanam yang teratur serta
pola-pola pertanian yang konsisten.
Masyarakat
pertanian yang identic dengan masyarakat yang banyak bermukin di pedesaan
memang menjadi obyek yang tidak dapat dilepaskan bila kita akan mengulas
struktur masyarakat pertania, karena mayoritas kebanyakan petani-petani yang
ada diindonesia tinggal di dekat lahan pertanian mereka dan hal tersebut
pastinya membutuhkan banyaknya ruang kosong yang harus dapat diolah oleh
mereka, maka tidak mungkin dan meskipun ada di kota pun hal itu akan jarang
karena struktur pembangunan di kota sudah sangat padat, dan hal itu hanya bias
dijawab dengan bermukim didesa yang masih terdapat banyak lahan-lahan yang
dapat di fungsikan sebagai lahan mata pencaharian mereka sebagai petani.
Didesa
saya yang notabene juga tidak dapat lepas dari pertanian, menjadi salah satu
obyek kajian yang sedikit akan saya angkat dalam tulisan ini, masyarakat
pertanian yang tudak lepas dari masyarakat pedesaan menjadi terkorelasi satu
sama lain, karena hubungan antara keduanya sudah sangat erat sehingga tidak
dapat dipisah atau pun dipilah-pilah, sehingga disitulah nanti akan muncul
hubungan interaksi yang terjalin antara setiap element masyarakat, masyarakat pertanian di desa tempat saya
tinggal mayoritas bercocok tanam atau
bertani padi, meskipun banyak juga yang mulai beralih pada tanaman lain seperti
sayuran.
Struktur
masyarakat pertanian di setiap desa
pastinya berbeda satu dengan yang lain karena struktur wilayah, system budaya
berbeda makan berbedalah struktur masyarakat pertanian yang berada disetiap
daerah, di daerah saya masih banyak petani yang menggarap lahan milik orang
lain, atau dapat dikatakan menjadi buruh tani, pemilik tanah yang memiliki
lahan yang cukup luas, pasti tidak akan mampu untuk mengerjakan atau menggarap
lahan pertaniannya sendiri, sehingga banyak para pemilik tanah menggunakan jasa
dari para buruh tani untuk membantu mengolah lahan yang mereka miliki dengan
nantinya ada system bagi hasil yang diterapkan untuk membayar upah untuk para
buruh tani tersebut.
Kebanyakan
struktur masyarakat pertanian di daerah saya di isi oleh para buruh tani
sedangkan pemilik tanah hanya sedikit orang tetapi memiliki tanah yang sangat
luas sehingga terlihat timpang antara pemilik tanah yang memiliki lahan yang
sangat luas dengan buruh tani yang tidak memiliki tanah untuk di jadikan
sebagai lahan bercocok tanam, maka didesa saya para pemilik tanah akan
menyediakan berbagai apa yang dibutuhkan oleh para buruh tani untuk dapat
dimanfaatkan agar hasil pertaniaannya menjadi meningkat, seperti bibit, pupuk,
serta alat-alat pertanian telah disediakan oleh pemilik tanah, dan hubungan
antara pemilik tanah dengan buruh itu tidak diikat dengan system kerja kontrak
atau tertulis, tetapi masih menggunakan asas kekeluargaan atau dapat saya sebut
dengan pola hubungan patron client.
Pola
yang terjalin antara pemilik lahan dengan buruh tani ini biasanya hanya lewat
kesepakatan saja, tidak ada dasar-dasar hokum yang menyertai, karena
kepercayaan yang lebih di utamakan, jadi biasanya hubungan ini akan lebih solid
dan tidak rapuh meskipun hasil pertaniannya tidak sesuai dengan pesanan atau
jauh dari harapan dari sang pemilik tanah karena, kesepakatan awal biasanya
adalah yang terpenting buruh tani ini mau untuk menggarap tanah pertanian
tersebut dengan sepenuh hati, maka hasil yang nanti didapat tidak menjadi
urusan, sehingga ada semacam system kepercayaan yang tertanam bahwa buruh tani
akan bekerja seoptimal mungkin untuk para pemilik lahan.
Pola
hubungan patron client didaerah saya memang sangat kuat antara pemilik lahan
dengan buruh tani, karena dapat terlihat jelas bahwa para petani yang menggarap
tanah tersebut memang posisi sosialnya juga rendah yang dapat dilihat dari
kepemilikan harta yang dimiliki, maka biasanya para buruh tani bergantung pada
para pemilik tanah yang mana posisi sosialnya dimasyarakat juga tinggi karena
kepemilikan lahan tersebut, sehingga bila para petani membutuhkan apa saja yang
tidak berhubungan dengan pertanian maka para buruh tani ini akan lari pada
pemilik lahan, dan biasanya para pemilik lahan juga akan memberikan bantuan yang di butuhkan, dengan
harapan bahwa hubungan patron client tersebut akan terjaga,. Serta terselih
harapan bahwa, buruh tersebut tidak akan lari kepada pemilik lahan yang lain.
System
pemberian upah yang diterapkan antara pemilik lahan dengan para buruh tani
mungkin hampir sama dengan di daerah-daerah lainnya, bila didesa saya system
pemberian upah adalah dengan bagi hasil pertanian yang ada. Dengan perbandingan
4:1 antara pemilik tanah dengan buruhnya, pemilik lahan mendapatkan jatah yang
banyak karena dilihat dari kepemilikan tanah atau lahan didukung dengan
banyaknya pengeluaran yang dihabiskan untuk membiayai produksi pertaniannya,
serta membayar buruh tersebut perharinya pula, yang membuat banyaknya hasil
yang didapat, sedangkan buruh tani yang hanya mengolah lahan pertanian yang
ada, tanpa mengeluarkan modal materiil yang dimiliki, mendapatkan pembagian
yang sedikit.
Setelah
itu adalah para pemilik tanah biasanya sudah memiliki hasil pertanian yang
lumayan maka biasanya para pemilik tanah menjual hasil pertanianya pada
tengkulak, yang biasanya sudah datang untukl melihat-lihat ketika padi yang di
tanam sudah terlihat kuning, maka para tengkulak sudah datang untuk meminta
ijin untuk membeli padi tersebut. Biasanya juga para tengkulak ini juga sudah
menjadi langganan sehingga para pemilik tanah juga sudah hafal dengan para
tengkulak bila mana mau menjual hasil pertaniannya.
Maka
hubungan antar pemilik tanah, buruh tani dengan tengkulak memang menjadi sangat
erat dan sangat sulit untuk dipisahkan, karena para buruh tani sangat
tergantung pada pemilik lahan pertanian, sedangkan pemilik lahan juga sangat
tergantung dengan tengkulak karena memang tengkulak lah yang membeli hasil
pertaniannya. Sehingga terjadi mutualisme antara ke tiga element ini yang
membuat dan terstruktur dalam masyarakat pertanian didesa tempat saya tinggal.
sos.agama
Agama, yang
menyangkut kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah
sosial dan sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia
dimana kita memiliki berbagai catatan termasuk yang biasa diketengahkan dari tafsiran
oleh para ahli arkeologi.
Sebenarnya
lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu,
menyangkut, masalah aspek kehidupan manusia yang dalam transedensinya mencakup
sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia
Emile Durkheim
seorang pelopor sosiologi agama di perancis mengatakan bahwa agama merupakan
sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi,sedangkan marx mengatakan bahwa
agama adalah candu bagi manusia. Jelas agama menunjukkan seperangkat aktivitas dan
sejumlah bentuk-bentuk sosial yang mempunyai arti penting. Yang menjadi masalah
adalah bagaimana sosiologi seharusnya mendekati seefektif mungkin(observasi dan
analisa) aspek eksistensi sosial manusia yang berisi banyak dan kabur ini.
Teori fungsional
Sebagai kerangka
acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang masyarakat sebagai suatu
lembaga sosial yang berada dalam keseimbangan yang memolakan kagiatan manusia
berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat
peran serta manusia itu sendiri. Lembaga-lembaga yang kompleks ini secara
keseluruhan merupakan sistem sosial yang demikian rupa dimana setiap
bagian(masing-masing unsure kelembagaan itu) saling tergantung dengan semua
bagian lain, sehingga perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi bagian lain
yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan. Dalam pengertian
ini, agama merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang tidak berimbang.
Teori fungsional
melihat kebudayaan sebagai sejumlah pengetahuan yang kurang lebih agak terpadu
sebagai pengetahuan semu, kepercayaan dan nilai. Hal ini menentukan situasi
kondisi yang bertindak para anggota suatu masyarakat. Dewasa ini sosiologi
telah membuang teori-teori sebelumnya
yang sedang mencari penjelasan tentang corak kegiatan manusia yang memola dan
sudah dianut bersama, mempostulatkan gagasan “fikiran kelompok” dan teori-teori
lainnya yang mengacaukan perumusan. Oleh karena itu kita perlu mempertanyakan
kembali masalah fungsional, kali ini dalam konteks teori fungsional kepribadian
yaitu sejauh mana agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan
fungsinya?
Aksioma teori
fungsional ialah segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya.
Karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada jelas bahwa agama mempunyai
fungsi atau bahkan memerankan sejumlah fungsi. Teori fungsional memandang
kebutuhan demikian itu sebagai hasil dari tiga karakteristik dasar eksistensi manusia, pertama manusia
hidup dalam kondisi ketidakpastian hal yang sangat penting bagi keamanan dan
kesejahteraan manusia berada di luar jangkauan, kedua kesanggupan manusia untuk
mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya walaupun kesanggupan tersebut
kian meningkat pada dasarnya terbatas, ketiga manusia harus hidup bermasyarakat,
dan suatu masyarakat merupakan suatu alokasi yang teratur dari berbagai fungsi,
fasilitas dan ganjaran.
Jadi seorang
fungsional memandang agama sebagai pembantu manusia untuk menyesuaikan diri
dari ketiga fakta ini ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan( dengan
demikian harus pula menyesuaikan diri dengan frustasi dan deprivasi).
Kemungkinan tahu “konteks ketidakpastian”, menunjukan pada kenyataan semua
usaha manusia. Betapa pun direncanakan dengan baik dan dilaksanakan dengan
sesakma tetap tidak terlepas dari kekecewaan.
Fungsi agama dan
magis
Untuk membedakan
antara fungsi agama dan magis mungkin bisa kita lihat dari sisi ritual-ritual
yang dilakukan. Ritual keagamaan
misalnya pada saat kehadiran seorang bayi yang baru dilahirkan atau pesta untuk
menyambut kelahiran bayi tersebut. Ritual semacam itu biasanya diadakan sebagai
ungkapan rasa bahagia atau rasa bersyukur kepada tuhan. Sedangkan dari segi
magisnya tujuan dan prinsip yang mendasari untuk seseorang harus melakukan
ritual tersebut selalu jelas dan pasti. Mungkin fungsinya adalah untuk
meritualisasi optimism manusia untuk mempertebal keyakinan dan mengalahkan rasa
takut terhadap magis-magis yang telah ditetapkan oleh sesepuh mereka.
Agama dan
kausalitas sosial
Peran agam
terhadap perilaku manusia sebagai unsure kausal yang independen mungkin maksud
dari pernyataan tersebut adalah untuk menangkal tafsiran marx yang berat
sebelah bahwa agama tidak lebih dari satu turunan yang berasal dari variable
sosial fundamental yaitu sebuah fenomena tanpa arti penting kausal (bersifat
menyebabkan suatu kejadian: bersifat saling menyebabkan: hubungan--,hubungan
yang bersebab akibat).
Arti penting
teori fungsionalitas
Pertama , agama
mendasarkan perhatiannya pada suatu yang diluar jangkauan dan kesejahteraan dan
terhadap mana manusia memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya
menyediakan bagi pemeluknya suatu dukungan.
Kedua, agama
menawarkan suatu hubungan transcendental melalui pemujaan dan ucapaca ibadat.
Ketiga, agama
mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk.
Keempat, agama
juga melakukan fungsi yang bisa bertentangan dengan fungsi sebelumnya.
Kelima, agama
melakukan fungsi-fungsi penting.
Keenam, agama
bersangkut paut pula dengan pertumbuhan dan kedewasaan individu dan perjalanan
hidup melalui tingkat usia yang telah ditentukan.
Kesimpulannya
adalah jika agama mengidentifikasi individu dengan kelompok, bertindak
menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan cara mendukung
pengendalian sosial, kemudian juga menyediakan suatu jalur dan jalan masuk yang
bermanfaat untuk memahami agama sebagai suatu fenomena yang bersifat universal.
Pelembagaan
agama
Dalam suatu
masyarakat ada dua organisasi keagamaan yaitu primitive dan purba. Agama
merupakan fenomena yang menyebar, berbagai bentuk perkumpulan manusia, misalnya
keluarga sampai ke kelompok kerja yang bersifat religious atau keagamaa. Pada
masyarakat , agama merupakan salah satu aspek kehidupan semua kelompok sosial.
Organisasi keagamaan yang khusus menunjukan salah satu aspek dari semakin meningkatnya pembagian kerja dan
spesifikasi fungsi yang merupakan atribut penting masyarakat perkotaan.
Masyarakat tradisional, kelompok sosial yang serupa memberikan kesempatan untuk
memuaskan kebutuhan ekspresif dan adaptif, sedangkan masyarakat modern organisasi untuk memenuhi kebutuhan
adaptif cenderung dibuat terpisah dari organisasi yang member jalan keluar bagi
kebutuhan ekspresif. Pengalaman keagamaan menunjukan suatu terobosan pengalaman
sehari-hari merupakan pengalaman karismatik. Menurut weber jika karisma itu
tidak “tetap merupakan suatu fenomena transisi, tetapi bersifat hubungan
permanen yang membentuk komunitas para penganut atau kelompok pengikut stabil”.
Maka secara radikal sifatnya pasti berubah. Karisma murni hanya ada dalam
“proses kelahiran” (process of originating). Analisa yang diperlukan ialah
analisa abstrak yang mencoba memisahkan pandangan umum tentang struktur dan
pengalaman keagamaan. Yakni mengidentifikasi unsure-unsur yang umum dari
pengalaman tersebut. Lembaga-lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah,
yakni sebagai pemujaan, pada waktu yang sama mereka berkembang sebagai pola
ide-ide dan ketentuan yakni sebagai keyakinan-keyakinan, dan mereka juga tampil
sebagai bentuk asosiasi atau organisasi.
Pemujaan (cult)
Kompleks
tanda-tanda,kata-kata dan sarana simbolis yang merupakan inti fenomena
keagamaan yang kita namakan pemujaan( cult) ialah suatu ungkapan perasaan,
sikap, dan hubungan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Malinowski, perasaan, sikap,
dan hubungan ini diungkapkan tidak memiliki tujuan lain selain dalam diri
sendiri. Hubungan yang diungkapkan dalam pemujaan itu merupakan hubungan
sekunder antara sesame anggota, dan antara para anggota dengan pemimpin,
hubungan yang implicit dalam tindakan pemujaan itu sendiri. Dalam semua agama ,
kelahiran, masa puber , perkawinan, menderita sakit, perubahan status dan
kematian ditandai oleh ritualupacara suci. Ritual itu merupakan transformasi
simbolis pengalaman-pengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh
media lain.karena berasal dari kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan
kegiatan yang spontan dalam arti betapapun peliknya, ia lahir tanpa niat, tanpa
disesuaikan dengan suatu tujuan yang didasari, pertumbuhannya tanpa rancangan, polanya
benar-benar ilmiah, menurut 1
bid(hal:40). Pengalaman pelembagaan ritual, pemolaan kata-kata, isyarat, dan
prosedurnya dimaksudkan sebagai semacam rasa memiliki dan objectivikasi
sikap-sikap subjectif dan spontan yang asli dari para pengikutnya. Tindakan
pemujaan merupakan tindakan sosial atau tindakan berjamaah dimana kelompok
menetapkan kembali hubungannya dengan objek-objek suci dan melalui hubungan
ini, hubungan yang diluar jangkauan, dan hal itu akan
PERSOALAN KEMISKINAN
Kemiskinan
merupakan salah problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu
dilakukan dalam membahas masalah ini adalah indetifikasi apa sebenarnya yang di
maksud dengan miskin atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya. Konsep yang
berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang berbeda pula. Konsep kemiskinan
paling tidak ada tiga konsep kemiskinan, yaitu : kemiskinan absolute,
kemiskinan relative dan kemiskinan subjective.
Konsep kemiskinan absolute dirumuskan dengan
membuat ukuran tertentu yang konkret (a fixed yardstick). Ukuran itu lazimnya
berorientasi pada kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai
acuan memang berlainan. Konsep kemiskinan semacam itu telah banyak mendapat
kritik antara lain yang mengatakan bahwa hampir tidak mungkin membuat satu
ukuran untuk semua anggota masyarakat. Contohnya kebutuhan masyarakat desa yang
berbeda dengan masyarakat perkotaan.
Konsep
kemiskinan relative dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu
dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Konsep kemiskinan semacam ini
lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan (in terms of judgment) anggota
masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Konsep
ini juga banyak menerima keritik karena ukuran kelayakan ternyata beragam pada
setiap daerah.
Sedang
dalam masalah kemiskinan dilihat dari perspektof situasional memandang sebagai
dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi capital dan
produk-produk teknologi modern. Penetrasi capital antara lain mengejawantah
dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan
dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan.
Program-program
pembangunan macam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil produksi secara
besar-besaran, tetapi ternyata hanya kelompok kaya yang dapat memanfaatklan
surplus itu. Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak untuk
mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersamaan dengan perkembanagn
teknologi modern. Sehingga membuat mereka lebig cepat berkembang. Kemudian
berkaitan dengan fungsi lembaga, dalam rangka menunjang introduksi teknologi
baru,di bentuk lembaga-lembaga ekonomi. Lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan
karena dengan adanya perubahan teknologi, fungsi produksi,
struktur pasar dan prefensi konsumen ikut berubah. Kedua hal tersebut dituduh
menciptakan “kolonialisme internal” dalam kehidupan masyarakat.
Apabila
kita menganggap bahwa akar kemiskinan berkaitan dengan factor cultural, kita
perlu menyusul strategi yang mampu meningkatkan etos kerja kelompok miskin,
meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola piker yang melihat ke masa
depan, dan menata kembali institusi-institusi ekonomi kita supaya dapat
mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok miskin. Sedangkan apabila kita menganggap
bahwa kemiskinan berakar pada masalah structural, strategi pembangunan kita
perlu dirubah, Kemiskinan yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi suatu negara
atau kawasan berkorelasi struktural. Bahkan industrialisasi perkotaan yang
memunculkan berbagai istilah kutub pertumbuhan (growth pole) sebagaimana yang
dikatakan oleh Lausen, (1972) dan Hermansen, (1972) dengan istilah
"development poles, growth center, growth areas, growing
points, development nuclei, core areas, core regions, and regional centers"
yang diharapkan berfungsi sebagai mesin pertumbuhan utama (the essential
engines of growth) ternyata telah memunculkan persoalan ketimpangan
sosial ekonomi. Apalagi industri yang sifatnya berbasis di perkotaan (urban
based industry) memunculkan "urban bias" yakni terkonsentrasi
pembangunan di perkotaan yang kemudian dikritik oleh Lipton (1977) dengan
istilah "mal-distribution with growth" yakni gagalnya upaya
pemerataan pembangunan dengan pertumbuhan atau dikenal dengan terminologi "economic
growth without social equity", suatu kondisi kenapa orang miskin
terbelenggu dengan kemiskinannya (why poor people stay poor).(Syamsul Bahrum, 2012)
Secara sosiologis, dimensi structural kemiskinan dapat ditelusuri melalui
institusional arrangement yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita.
Kemiskinan semacam itu justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan
strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dirancang serta dari pengambilan
posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi itu
sendiri.
Di pedesaan, telah sejak lama terjadi apa yang lazim disebut green
revolution, yaitu suatu bentuk transformasi yang dahsyat dari sistem pertanian
sederhana menjadi sistem pertanian modern. Transformasi tersebut dilakukan
melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk
menghasilkan pangan yang sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan national.
Hampir semua perguruan tinggi negeri di Indonesia, dalam beberapa tahun
ini mendapatkan kucuran anggaran yang lumayan besar. Anggaran untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar kini semakin
besar.tetapi siapa yang menikmati semua itu? Kelihatannya, kebanyakan adalah
anak-anak dari golongan atas atau dari menengah keatas.disini, kerapkali tampak
adanya kepincangan. Disatu pihak, mahasiswa dari keluarga kaya memperoleh
subsidi pendidikan karena dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Di pihak
lain mahasiswa dari keluarga yang relatife miskin harus membayar mahal(bukan
tidak mungkin mereka dieksploitasi) karena hanya diterima di perguruan tinggi
swasta.
Secara jujur, harus diakui bahwa belum benyak jumlah perguruan tinggi
kita(baik negeri maupun swasta) yang sudah mampu menghasilkan sarjana-sarjana
mandiri dan secara professional dapat menciptakan atau mengisi kesempatan
kerja. Kualitas mereka belum begitu memuaskan. Tidak mudah menerangkan mengapa
kenyataan semacam ini masih terus menjadi. Masih banyak staf pengajar yang
belum benar-benar memiliki kualitas dan integritas.
Langganan:
Postingan (Atom)