Sabtu, 29 Juni 2013

deky yoga: PERSOALAN KEMISKINAN

deky yoga: PERSOALAN KEMISKINAN: Kemiskinan merupakan salah problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam membahas masalah ini adalah indeti...

Selasa, 11 Juni 2013

Struktur masyarakat petani padi di desa tegalyasan kecamatan sempu kabupaten banyuwangi





Masyarakat Indonesia yang sangat plural memang menjadi suatu topic bahasan yang tidak akan habis bila dikupas, keragaman etnik yang ada menjadi suatu ke eksotisan bangsa Indonesia, Indonesia bagaikan surge yang ada di dunia, dimana pernah ada yang mengatakan bahwa tongkat serta batu pun bias tumbuh di tanah bumi pertiwi ini, maka itulah mengapa banyak sekali masyarakat Indonesia banyak bermata perncaharian sebagai seorang yang bercocok tanam atau dapat dikatakan petani. Indonesia memberikan berbagai macam lahan yang dibutuhkan untuk bercocok tanam, karena bertani itu juga Indonesia dapat dikenal oleh Negara-negara yang lain dengan slogan “macan asia”, hal itu dapat diraih karena apa? Dengan jelas di jawab dapat diraih dengan adanya system cocok tanam yang teratur serta pola-pola pertanian yang konsisten.
Masyarakat pertanian yang identic dengan masyarakat yang banyak bermukin di pedesaan memang menjadi obyek yang tidak dapat dilepaskan bila kita akan mengulas struktur masyarakat pertania, karena mayoritas kebanyakan petani-petani yang ada diindonesia tinggal di dekat lahan pertanian mereka dan hal tersebut pastinya membutuhkan banyaknya ruang kosong yang harus dapat diolah oleh mereka, maka tidak mungkin dan meskipun ada di kota pun hal itu akan jarang karena struktur pembangunan di kota sudah sangat padat, dan hal itu hanya bias dijawab dengan bermukim didesa yang masih terdapat banyak lahan-lahan yang dapat di fungsikan sebagai lahan mata pencaharian mereka sebagai petani.
Didesa saya yang notabene juga tidak dapat lepas dari pertanian, menjadi salah satu obyek kajian yang sedikit akan saya angkat dalam tulisan ini, masyarakat pertanian yang tudak lepas dari masyarakat pedesaan menjadi terkorelasi satu sama lain, karena hubungan antara keduanya sudah sangat erat sehingga tidak dapat dipisah atau pun dipilah-pilah, sehingga disitulah nanti akan muncul hubungan interaksi yang terjalin antara setiap element masyarakat,  masyarakat pertanian di desa tempat saya tinggal  mayoritas bercocok tanam atau bertani padi, meskipun banyak juga yang mulai beralih pada tanaman lain seperti sayuran.
Struktur masyarakat pertanian  di setiap desa pastinya berbeda satu dengan yang lain karena struktur wilayah, system budaya berbeda makan berbedalah struktur masyarakat pertanian yang berada disetiap daerah, di daerah saya masih banyak petani yang menggarap lahan milik orang lain, atau dapat dikatakan menjadi buruh tani, pemilik tanah yang memiliki lahan yang cukup luas, pasti tidak akan mampu untuk mengerjakan atau menggarap lahan pertaniannya sendiri, sehingga banyak para pemilik tanah menggunakan jasa dari para buruh tani untuk membantu mengolah lahan yang mereka miliki dengan nantinya ada system bagi hasil yang diterapkan untuk membayar upah untuk para buruh tani tersebut.
Kebanyakan struktur masyarakat pertanian di daerah saya di isi oleh para buruh tani sedangkan pemilik tanah hanya sedikit orang tetapi memiliki tanah yang sangat luas sehingga terlihat timpang antara pemilik tanah yang memiliki lahan yang sangat luas dengan buruh tani yang tidak memiliki tanah untuk di jadikan sebagai lahan bercocok tanam, maka didesa saya para pemilik tanah akan menyediakan berbagai apa yang dibutuhkan oleh para buruh tani untuk dapat dimanfaatkan agar hasil pertaniaannya menjadi meningkat, seperti bibit, pupuk, serta alat-alat pertanian telah disediakan oleh pemilik tanah, dan hubungan antara pemilik tanah dengan buruh itu tidak diikat dengan system kerja kontrak atau tertulis, tetapi masih menggunakan asas kekeluargaan atau dapat saya sebut dengan pola hubungan patron client.
Pola yang terjalin antara pemilik lahan dengan buruh tani ini biasanya hanya lewat kesepakatan saja, tidak ada dasar-dasar hokum yang menyertai, karena kepercayaan yang lebih di utamakan, jadi biasanya hubungan ini akan lebih solid dan tidak rapuh meskipun hasil pertaniannya tidak sesuai dengan pesanan atau jauh dari harapan dari sang pemilik tanah karena, kesepakatan awal biasanya adalah yang terpenting buruh tani ini mau untuk menggarap tanah pertanian tersebut dengan sepenuh hati, maka hasil yang nanti didapat tidak menjadi urusan, sehingga ada semacam system kepercayaan yang tertanam bahwa buruh tani akan bekerja seoptimal mungkin untuk para pemilik lahan.
Pola hubungan patron client didaerah saya memang sangat kuat antara pemilik lahan dengan buruh tani, karena dapat terlihat jelas bahwa para petani yang menggarap tanah tersebut memang posisi sosialnya juga rendah yang dapat dilihat dari kepemilikan harta yang dimiliki, maka biasanya para buruh tani bergantung pada para pemilik tanah yang mana posisi sosialnya dimasyarakat juga tinggi karena kepemilikan lahan tersebut, sehingga bila para petani membutuhkan apa saja yang tidak berhubungan dengan pertanian maka para buruh tani ini akan lari pada pemilik lahan, dan biasanya para pemilik lahan juga akan  memberikan bantuan yang di butuhkan, dengan harapan bahwa hubungan patron client tersebut akan terjaga,. Serta terselih harapan bahwa, buruh tersebut tidak akan lari kepada pemilik lahan yang lain.
System pemberian upah yang diterapkan antara pemilik lahan dengan para buruh tani mungkin hampir sama dengan di daerah-daerah lainnya, bila didesa saya system pemberian upah adalah dengan bagi hasil pertanian yang ada. Dengan perbandingan 4:1 antara pemilik tanah dengan buruhnya, pemilik lahan mendapatkan jatah yang banyak karena dilihat dari kepemilikan tanah atau lahan didukung dengan banyaknya pengeluaran yang dihabiskan untuk membiayai produksi pertaniannya, serta membayar buruh tersebut perharinya pula, yang membuat banyaknya hasil yang didapat, sedangkan buruh tani yang hanya mengolah lahan pertanian yang ada, tanpa mengeluarkan modal materiil yang dimiliki, mendapatkan pembagian yang sedikit.
Setelah itu adalah para pemilik tanah biasanya sudah memiliki hasil pertanian yang lumayan maka biasanya para pemilik tanah menjual hasil pertanianya pada tengkulak, yang biasanya sudah datang untukl melihat-lihat ketika padi yang di tanam sudah terlihat kuning, maka para tengkulak sudah datang untuk meminta ijin untuk membeli padi tersebut. Biasanya juga para tengkulak ini juga sudah menjadi langganan sehingga para pemilik tanah juga sudah hafal dengan para tengkulak bila mana mau menjual hasil pertaniannya.
Maka hubungan antar pemilik tanah, buruh tani dengan tengkulak memang menjadi sangat erat dan sangat sulit untuk dipisahkan, karena para buruh tani sangat tergantung pada pemilik lahan pertanian, sedangkan pemilik lahan juga sangat tergantung dengan tengkulak karena memang tengkulak lah yang membeli hasil pertaniannya. Sehingga terjadi mutualisme antara ke tiga element ini yang membuat dan terstruktur dalam masyarakat pertanian didesa tempat saya tinggal.

sos.agama


Agama, yang menyangkut kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia dimana kita memiliki berbagai catatan termasuk yang biasa diketengahkan dari tafsiran oleh para ahli arkeologi.
Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut, masalah aspek kehidupan manusia yang dalam transedensinya mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia
Emile Durkheim seorang pelopor sosiologi agama di perancis mengatakan bahwa agama merupakan sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi,sedangkan marx mengatakan bahwa agama adalah candu bagi manusia. Jelas agama menunjukkan seperangkat aktivitas dan sejumlah bentuk-bentuk sosial yang mempunyai arti penting. Yang menjadi masalah adalah bagaimana sosiologi seharusnya mendekati seefektif mungkin(observasi dan analisa) aspek eksistensi sosial manusia yang berisi banyak dan kabur ini.
Teori fungsional
Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam keseimbangan yang memolakan kagiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu sendiri. Lembaga-lembaga yang kompleks ini secara keseluruhan merupakan sistem sosial yang demikian rupa dimana setiap bagian(masing-masing unsure kelembagaan itu) saling tergantung dengan semua bagian lain, sehingga perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi bagian lain yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan. Dalam pengertian ini, agama merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang tidak berimbang.
Teori fungsional melihat kebudayaan sebagai sejumlah pengetahuan yang kurang lebih agak terpadu sebagai pengetahuan semu, kepercayaan dan nilai. Hal ini menentukan situasi kondisi yang bertindak para anggota suatu masyarakat. Dewasa ini sosiologi telah membuang teori-teori  sebelumnya yang sedang mencari penjelasan tentang corak kegiatan manusia yang memola dan sudah dianut bersama, mempostulatkan gagasan “fikiran kelompok” dan teori-teori lainnya yang mengacaukan perumusan. Oleh karena itu kita perlu mempertanyakan kembali masalah fungsional, kali ini dalam konteks teori fungsional kepribadian yaitu sejauh mana agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya?
Aksioma teori fungsional ialah segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada jelas bahwa agama mempunyai fungsi atau bahkan memerankan sejumlah fungsi. Teori fungsional memandang kebutuhan demikian itu sebagai hasil dari tiga karakteristik  dasar eksistensi manusia, pertama manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian hal yang sangat penting bagi keamanan dan kesejahteraan manusia berada di luar jangkauan, kedua kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya walaupun kesanggupan tersebut kian meningkat pada dasarnya terbatas, ketiga manusia harus hidup bermasyarakat, dan suatu masyarakat merupakan suatu alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas dan ganjaran.
Jadi seorang fungsional memandang agama sebagai pembantu manusia untuk menyesuaikan diri dari ketiga fakta ini ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan( dengan demikian harus pula menyesuaikan diri dengan frustasi dan deprivasi). Kemungkinan tahu “konteks ketidakpastian”, menunjukan pada kenyataan semua usaha manusia. Betapa pun direncanakan dengan baik dan dilaksanakan dengan sesakma tetap tidak terlepas dari kekecewaan.
Fungsi agama dan magis
Untuk membedakan antara fungsi agama dan magis mungkin bisa kita lihat dari sisi ritual-ritual yang dilakukan.  Ritual keagamaan misalnya pada saat kehadiran seorang bayi yang baru dilahirkan atau pesta untuk menyambut kelahiran bayi tersebut. Ritual semacam itu biasanya diadakan sebagai ungkapan rasa bahagia atau rasa bersyukur kepada tuhan. Sedangkan dari segi magisnya tujuan dan prinsip yang mendasari untuk seseorang harus melakukan ritual tersebut selalu jelas dan pasti. Mungkin fungsinya adalah untuk meritualisasi optimism manusia untuk mempertebal keyakinan dan mengalahkan rasa takut terhadap magis-magis yang telah ditetapkan oleh sesepuh mereka.
Agama dan kausalitas sosial
Peran agam terhadap perilaku manusia sebagai unsure kausal yang independen mungkin maksud dari pernyataan tersebut adalah untuk menangkal tafsiran marx yang berat sebelah bahwa agama tidak lebih dari satu turunan yang berasal dari variable sosial fundamental yaitu sebuah fenomena tanpa arti penting kausal (bersifat menyebabkan suatu kejadian: bersifat saling menyebabkan: hubungan--,hubungan yang bersebab akibat).
Arti penting teori fungsionalitas
Pertama , agama mendasarkan perhatiannya pada suatu yang diluar jangkauan dan kesejahteraan dan terhadap mana manusia memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya menyediakan bagi pemeluknya suatu dukungan.
Kedua, agama menawarkan suatu hubungan transcendental melalui pemujaan dan ucapaca ibadat.
Ketiga, agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk.
Keempat, agama juga melakukan fungsi yang bisa bertentangan dengan fungsi sebelumnya.
Kelima, agama melakukan fungsi-fungsi penting.
Keenam, agama bersangkut paut pula dengan pertumbuhan dan kedewasaan individu dan perjalanan hidup melalui tingkat usia yang telah ditentukan.
Kesimpulannya adalah jika agama mengidentifikasi individu dengan kelompok, bertindak menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan cara mendukung pengendalian sosial, kemudian juga menyediakan suatu jalur dan jalan masuk yang bermanfaat untuk memahami agama sebagai suatu fenomena yang bersifat universal.
Pelembagaan agama
Dalam suatu masyarakat ada dua organisasi keagamaan yaitu primitive dan purba. Agama merupakan fenomena yang menyebar, berbagai bentuk perkumpulan manusia, misalnya keluarga sampai ke kelompok kerja yang bersifat religious atau keagamaa. Pada masyarakat , agama merupakan salah satu aspek kehidupan semua kelompok sosial. Organisasi keagamaan yang khusus menunjukan salah satu aspek  dari semakin meningkatnya pembagian kerja dan spesifikasi fungsi yang merupakan atribut penting masyarakat perkotaan. Masyarakat tradisional, kelompok sosial yang serupa memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan adaptif, sedangkan masyarakat  modern organisasi untuk memenuhi kebutuhan adaptif cenderung dibuat terpisah dari organisasi yang member jalan keluar bagi kebutuhan ekspresif. Pengalaman keagamaan menunjukan suatu terobosan pengalaman sehari-hari merupakan pengalaman karismatik. Menurut weber jika karisma itu tidak “tetap merupakan suatu fenomena transisi, tetapi bersifat hubungan permanen yang membentuk komunitas para penganut atau kelompok pengikut stabil”. Maka secara radikal sifatnya pasti berubah. Karisma murni hanya ada dalam “proses kelahiran” (process of originating). Analisa yang diperlukan ialah analisa abstrak yang mencoba memisahkan pandangan umum tentang struktur dan pengalaman keagamaan. Yakni mengidentifikasi unsure-unsur yang umum dari pengalaman tersebut. Lembaga-lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, yakni sebagai pemujaan, pada waktu yang sama mereka berkembang sebagai pola ide-ide dan ketentuan yakni sebagai keyakinan-keyakinan, dan mereka juga tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi.
Pemujaan (cult)
Kompleks tanda-tanda,kata-kata dan sarana simbolis yang merupakan inti fenomena keagamaan yang kita namakan pemujaan( cult) ialah suatu ungkapan perasaan, sikap, dan hubungan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Malinowski, perasaan, sikap, dan hubungan ini diungkapkan tidak memiliki tujuan lain selain dalam diri sendiri. Hubungan yang diungkapkan dalam pemujaan itu merupakan hubungan sekunder antara sesame anggota, dan antara para anggota dengan pemimpin, hubungan yang implicit dalam tindakan pemujaan itu sendiri. Dalam semua agama , kelahiran, masa puber , perkawinan, menderita sakit, perubahan status dan kematian ditandai oleh ritualupacara suci. Ritual itu merupakan transformasi simbolis pengalaman-pengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh media lain.karena berasal dari kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang spontan dalam arti betapapun peliknya, ia lahir tanpa niat, tanpa disesuaikan dengan suatu tujuan yang didasari, pertumbuhannya tanpa rancangan, polanya benar-benar ilmiah, menurut  1 bid(hal:40). Pengalaman pelembagaan ritual, pemolaan kata-kata, isyarat, dan prosedurnya dimaksudkan sebagai semacam rasa memiliki dan objectivikasi sikap-sikap subjectif dan spontan yang asli dari para pengikutnya. Tindakan pemujaan merupakan tindakan sosial atau tindakan berjamaah dimana kelompok menetapkan kembali hubungannya dengan objek-objek suci dan melalui hubungan ini, hubungan yang diluar jangkauan, dan hal itu akan

PERSOALAN KEMISKINAN



Kemiskinan merupakan salah problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam membahas masalah ini adalah indetifikasi apa sebenarnya yang di maksud dengan miskin atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya. Konsep yang berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang berbeda pula. Konsep kemiskinan paling tidak ada tiga konsep kemiskinan, yaitu : kemiskinan absolute, kemiskinan relative dan kemiskinan subjective.
 Konsep kemiskinan absolute dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang konkret (a fixed yardstick). Ukuran itu lazimnya berorientasi pada kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Konsep kemiskinan semacam itu telah banyak mendapat kritik antara lain yang mengatakan bahwa hampir tidak mungkin membuat satu ukuran untuk semua anggota masyarakat. Contohnya kebutuhan masyarakat desa yang berbeda dengan masyarakat perkotaan.
Konsep kemiskinan relative dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Konsep kemiskinan semacam ini lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan (in terms of judgment) anggota masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Konsep ini juga banyak menerima keritik karena ukuran kelayakan ternyata beragam pada setiap daerah.
Sedang dalam masalah kemiskinan dilihat dari perspektof situasional memandang sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi capital dan produk-produk teknologi modern. Penetrasi capital antara lain mengejawantah dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan.
Program-program pembangunan macam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil produksi secara besar-besaran, tetapi ternyata hanya kelompok kaya yang dapat memanfaatklan surplus itu. Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersamaan dengan perkembanagn teknologi modern. Sehingga membuat mereka lebig cepat berkembang. Kemudian berkaitan dengan fungsi lembaga, dalam rangka menunjang introduksi teknologi baru,di bentuk lembaga-lembaga ekonomi. Lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan karena  dengan  adanya perubahan teknologi, fungsi produksi, struktur pasar dan prefensi konsumen ikut berubah. Kedua hal tersebut dituduh menciptakan “kolonialisme internal” dalam kehidupan masyarakat.
Apabila kita menganggap bahwa akar kemiskinan berkaitan dengan factor cultural, kita perlu menyusul strategi yang mampu meningkatkan etos kerja kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola piker yang melihat ke masa depan, dan menata kembali institusi-institusi ekonomi kita supaya dapat mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok miskin. Sedangkan apabila kita menganggap bahwa kemiskinan berakar pada masalah structural, strategi pembangunan kita perlu dirubah, Kemiskinan yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi suatu negara atau kawasan berkorelasi struktural. Bahkan industrialisasi perkotaan yang memunculkan berbagai istilah kutub pertumbuhan (growth pole) sebagaimana yang dikatakan oleh Lausen, (1972) dan Hermansen, (1972) dengan istilah  "development poles,  growth center,  growth areas, growing points, development nuclei, core areas, core regions, and regional centers" yang diharapkan berfungsi sebagai mesin pertumbuhan utama (the essential engines of growth) ternyata telah  memunculkan persoalan ketimpangan sosial ekonomi. Apalagi industri yang sifatnya berbasis di perkotaan (urban based industry) memunculkan "urban bias" yakni terkonsentrasi pembangunan di perkotaan yang kemudian dikritik oleh Lipton (1977) dengan istilah "mal-distribution with growth" yakni gagalnya upaya pemerataan pembangunan dengan pertumbuhan atau dikenal dengan terminologi "economic growth without social equity", suatu kondisi kenapa orang miskin terbelenggu dengan kemiskinannya (why poor people stay poor).(Syamsul Bahrum, 2012)
Secara sosiologis, dimensi structural kemiskinan dapat ditelusuri melalui institusional arrangement yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita. Kemiskinan semacam itu justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dirancang serta dari pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi itu sendiri.
Di pedesaan, telah sejak lama terjadi apa yang lazim disebut green revolution, yaitu suatu bentuk transformasi yang dahsyat dari sistem pertanian sederhana menjadi sistem pertanian modern. Transformasi tersebut dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan yang sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan national.

Hampir semua perguruan tinggi negeri di Indonesia, dalam beberapa tahun ini mendapatkan kucuran anggaran yang lumayan besar. Anggaran untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar kini semakin besar.tetapi siapa yang menikmati semua itu? Kelihatannya, kebanyakan adalah anak-anak dari golongan atas atau dari menengah keatas.disini, kerapkali tampak adanya kepincangan. Disatu pihak, mahasiswa dari keluarga kaya memperoleh subsidi pendidikan karena dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Di pihak lain mahasiswa dari keluarga yang relatife miskin harus membayar mahal(bukan tidak mungkin mereka dieksploitasi) karena hanya diterima di perguruan tinggi swasta.
Secara jujur, harus diakui bahwa belum benyak jumlah perguruan tinggi kita(baik negeri maupun swasta) yang sudah mampu menghasilkan sarjana-sarjana mandiri dan secara professional dapat menciptakan atau mengisi kesempatan kerja. Kualitas mereka belum begitu memuaskan. Tidak mudah menerangkan mengapa kenyataan semacam ini masih terus menjadi. Masih banyak staf pengajar yang belum benar-benar memiliki kualitas dan integritas.