Selasa, 11 Juni 2013

komunikasi


1.
Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dalam menjalankan proses kehidupan.komunikasi adalah proses yang ada hubungannya dengan tingkah laku manusia serta pemuasan kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya.kebutuhan ini di penuhi melalui saling pertukaran pesan, yang terwujud dalam tingkah laku. Orang dikatakan bertingkah laku, apabila misalnya ia berbicara, melambaikan tangan, tersenyum, menggelengkan kepala, atau melakukan gerak isyarat lainnya.
 Tindakan-tindakan itu sering kali merupakan pesan atau mengandung makna, yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Apabila berlangsung antara dua atau lebih orang yang berlatar belakang kebudayaan, proses komunikasi mempunyai dimensi tambahan yang lebih khusus. Orang belajar untuk berfikir, berperasaan, berkeyakinan dan berusaha sesuai dengan apa yang dianggap baik oleh kebudayaannya. Dalam hal ini kebudayaan lebih dilihat sebagai (Asante, newmark dan black, 1979) : “jumlah keseluruhan keyakinan dan nilai yang dianut manusia baik secara individual maupun kolektif”.
Kebudayaan dan komunikasi tidak dapat dipisahkan karena kebudayaan tidak saja menentukan siapa berbicara dangan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi seharusnya berlangsung, tetapi juga mengenai bagaimana pesan sebaiknya dirumuskan. Komunikasi antar budaya didefinisikan antara lain sebagai “ penyampaian dan penerimaan pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan dengan hasil atau akibat yang berbeda-beda” (Dodd, 1982).
macam-macam akibat yang dapat mungkin dihasilkan antara lain perubahan sosial, akulturasi, saling pengertian, dan persahabatan, di satu pihak, atau kebencian, permusuhan, peperangan, dipihak lainnya. Dewasa ini, perkembangan alat perhubungan dan teknologi komunikasi yang semakin rumit dan canggih, meningkatkan hubungan yang mulanya terkendala oleh waktu maupun jarak ruang.
 Dunia semakin terasa sempit, sekarang dihuni oleh manusia-manusia yang bersifat dinamik da mobil. Orang semakin mudah untuk berkunjung atau tinggal di suatu lokasi kebudayaan yang jauh dan tidak pernah dikenal sebelumnya. Konsep tentang dirinya, bahasanya, kunjungan atau persinggahan ini didasari oleh beraneka ragam kepentingan atau minat, yang mewarnai arus hubungan dalam dunia international saat ini.
Kesempatan bagi orang untuk memperoleh informasi yang diinginkannya secara langsung dari seluruh penjuru dunia dewasa ini semakin terbuka. Masing-masing orang dapat memiliki sumber informasinya sendiri.terutama dengan munculnya satelit komunikasi, jurang informasi dapat diperkecil. Dalam konteks yang melampaui batas Negara atau batas kebudayaan. Maka melalui arus informasi, penduduk dunia dimana-mana menjadi  bersifat “global”.
Terutama dengan adanya perkembangan saat ini yang menjadikan dunia seakan tidak terbatas lagi antar Negara (ohmae, 1992) dan orang semakin tidak mungkin lagi menhindari pertemuan dengan orang lain yang sangat berbeda latar belakang kebudayaannya, makakebutuhan untuk mempelajari proses penyesuaian diri oleh pendatang di suatu tempat baru, sebagai salah satu aspek dari komunikasi antar budaya, kiranya semakin mendesak untuk dilakukan. Untuk melaksanakan kelangsungan hidupnya, setiap pendatang ke suatu lingkungan sosial budaya baru terpaksa harus melakukan  proses penyesuaian diri, atau yang disebut oleh kim sebagai “adaptasi antar budaya”  istilah adaptasi digunakan oleh kim sebagai suatu konsep yang mewakili macam-macam istilah lainnya, seperti asimilasi, akulturasi, integrasi dan penyesuaian diri .
 berdasarkan pokok permasalahan serta rincian permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini bertujauan untuk: 1. Memperoleh gambaran mengenai peranan dari pengenaan pesan media massa terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. 2. Mengetahui kemungkinan peranan dari aspek komunikasi manusia lainnya, yaitu komunikasi non-media massa, terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. 3. Mengetahui kemungkinan peranan dari factor-faktor lain diluar kegiatan komunikasi manusia terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Secara praksis. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pegangan untuk bertindak bagi mereka yang  telah, sedang, maupun akan menjalani proses adaptasi antar budaya.
Baik komunikasi melalui media massa maupun komunikasi non-media massa merupakan bagian dari komunikasi sosial (kim, 1985). Maka telaah mengenai kedua macam kegiatan komunikasi  itu dalam proses adaptasi antar budaya dapat dianggap secara menyeluruh sebagai kajian tentang komunikasi sosial dalam proses adaptasi anta budaya. Studi ini tidak menutup kemungkinan adanya factor-faktor lain diluar unsure kegiatan komunikasi manusia sendiri, yang turut menentukan kemampuan pelaku adaptasi antar budaya dalam berkomunikasi dengan lingkungannya.
 Akhirnya, alasan pemilihan praktis yang kiranya perlu juga dikemukakan adalah bahwa penelitian selama ini telah menetap untuk beberapa waktu . keadaan ini peneliti anggap sebagai suatu keuntungan, karena dengan demikian proses adaptasi antar budaya yang menjadi obyek penelitian dapat diamati dan didalami secara langsung.
Studi ini dilaksanakan dengan kesadaran akan adanya keterbatasan metodologis yang terkandung di dalamnya. Keterbatasan terpokok adalah bahwa konsep kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya hanya akan diukur dari penelitian subjectif pihak pelaku adaptasi antar budaya secara sepihak saja. Khususnya yang menyangkut indicator penilaian tentang kefektifan komunikasi dan pengetahuan tentang kelayakan komunikasi, ukuran yang dipergunakan akan bersifat menekankan pada hubungan “relasional”, bilamana yang dilihat adalah bagaimana keduanya itu dipersepsikan oleh orang lain yang menjadi lawan komunikasi pelaku adaptasi antar budaya.
Keterbatasan lainnya adalah jumlah sempel penelitian yang relative sedikit dan penarikan sempel yang terpaksa bersifat”non-probabilita”. Namun hal ini tidak dapat dihindari, berhubung untuk studi ini jumlah populasi yang pasti tidak diketahui.
2.
Tujuan dari bagian ini adalah untuk memberikan tinjauan tentang berbagai perspektif teoritik yang berkaitan dengan tema pokok penelitian ini. Serta beberapa studi yang pernah dilakukan. Untuk itu, maka membahasan akan dibagi kedalam beberapa sub-bab, yakni pengertian adaptasi antar budaya, unsure-unsur komunikasi sosial dalam adaptasi antar budaya, penggunaan media massa, kemampuan komunikasi ‘antar pribadi’dalam konteks antar budaya.
Untuk menegrti pengertian mengenai ‘adaptasi antar budaya’perlu dipahami dahulu fungsi ‘adaptasi’ bagi sistem hidup manusia. Pembahasan tentang ‘adaptasi’ dapat dilakukan antar lain dengan berpihak pada tinjauan mengenai ‘sistem’.Ruben(1983) secara khusus melihat pengertian sistem dari sudut pandang komunikasi. Sistem hidup, menurut Ruben (1983). Termasuk dalam kategori ‘ sistem terbuka’ dan merupakan pokok perhatian utama dalam mempelajarai hakekat komunikasi manusia. Sistem hidup manusia bersifat ‘adaptif’ dalam pengertian tujuan, yaitu sejauh sistem itu berjalan untuk memuaskan kebutuhan dan kehendaknya. Bagi individu manusia, proses adaptasi ke dalam lingkungan mancakup penyesuaian diri pada symbol-simbol dan obyek-obyek. Yang maknannya merupakan hasil dari kegiatan komunikasi orang-orang lain. Akibatnya , ia dibentuk oleh lingkungan, tetapi dalam bertingkah laku iapun dapat membentuk lingkungan (Roben, 1983).
Saejauh para anggota dari suatu kelompok masyarakat memiliki bersama symbol, makna, struktur aturan, kebiasaan, nilai, cara pemrosesan informasi, pola transformasi serta kebiasaan yang sama, maka dapat dikatakan mereka memiliki suatu “kebudayaan”. Dalam masing-masing hubungan tersebut, setiap individu melakukan penyesuaian dengan pola pemikiran dan pola komunikasi ndividu atau individu-individu lainnya. Yang mungkin bersifat unik atau berlaku khusus bagi suatu bentuk saja. Akibatnya, masing-masing bentuk hubungan memiliki kebudayaan atau subkebudayaannya sendiri.
Bilamana seorang individu dengan tingkah laku, pola berfikir dan struktur aturan yang telah dikembangkan dalam lingkungan kebudyaan tertentu, memperhatikan ataupun diperhatikan serta berhubungan dengan individu lain yang tingkah laku, pola piker dan struktur aturannya telah dikembangkan dalam lingkungan kebudayaan lain, maka terjadilah apa yang disebut “ komunikasi antar budaya”. Pemikiran bahwa komunikasi antar budaya umumnya mencakup derajat tertentu, tatkala individu berusaha untuk melakukan penyesuaian diri dengan orang lain di lingkungannya, yang memiliki orientasi kebudayaan berbeda darinya.
Sehubungan dengan perspektif ‘sistem’ dalam memandang komunikasi, Ruben menyatakan, bahwa kita tidak dapat mempelajari dan memahami salah satu bentuk komunikasi manusia secara terpisah dari jenis-jenis komunikasi manusia lainya. Masing-masing bentuk merupakan bagian dari suatu jaringan kompleks kegiatan komunikasi yang saling berhubungan secara fungsional dalam sistem-sistem individu-jamak. Fungsi dasar dari jaringan ini adalah pemrosesan informasi (Ruben, 1983).
Dalam menganalisis proses adaptasi antar budaya dari titik pandang komunikasi, kim melihat perspektif ‘sistem’ sebagai salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan berguna. Dalam perspektif sistem, pendatang sebagai unsure dasar dari sistem komunikasi manusia merupakan mahkluk aktif yang mencari dan menghendaki komunikasi dengan lingkungan. Sebagai sistem komun ikasi terbuka, ia berinteraksi dengan lingkungan melalui dua proses yang satu sama lain saling berhubungan, yakni ‘komunikasi personal’ dan ‘komunikasi sosial’ (kim, 1985).

Selain deskripsi demografik, analisis terhadap kelompok masarakat tersebut juga dilakukan dengan berpatokan pada konsep-konsep pokok yang digunakan dalam studi ini, yaitu konsep tentang ‘faktor disposisional’, ‘faktor situasional’, ‘komunikasi non-media massa’, ‘penggunaan media massa’, dan ‘kemampuan komunikasi antar pribadi’. Profil tentang kelompok masyarakat yang menjadi sasaran penelitian ini pada pokoknya disusun berdasar pada data dari apa yang dilaporkan oleh responden sendiri (“self reporting data”), ditambah hasil pengamatan di lapangan. Dikemukakan oleh Berlund dan Nomura (1985), beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan jenis kelamin, kebudayaan lebih berpengaruh terhadap jalannya interaksi.
Juga Kim (1986), dalam bahasan tentang potensiuntuk berakulturasi (“acculturation potential”) yang tidak lain merupakan factor disposisional, mengemukakan bahwa di antara karakteristik demografik, umur dan latar belakang pendidikan telah ditemukan secara signifikan berhubungan dengan potensi tersebut. Sedangkan jenis kelamin tidak disebutkan sama sekali.
Untuk analisis diskriptif, factor disposisional responden dalam studi ini dibagi ke dalam tiga pembagian besar, yaitu: 1. Pengalaman hidup, yang mencakup pendidikan, pekerjaan, lama menetap, pengetahuan tentang masyarakat setempat sebelum menetap dan sumber pengetahuan sebelum menetap; 2. Kecenderungan adaptif, yang mencakup usaha memperoleh pengetahuan tentang masyarakat setempat sesudah menetap, sumber pengetahuan sesudah menetap, usaha menggunakan bahasa masyarakat setempat, perasaan menghadapi perbedaan antara keadaan setempat dengan keadaan di tempat asal, kegiatan di waktu senggang; 3. Harapan atau ekspektasi, yang meliputi rencana lama menetap keseluruhan dan piliha ideal tempat tinggal.
Faktor situasional merupakan keadaan lingkungan setempat yang dapat mendorong atau sebaliknya menghambat komunikasi antara pelaku adaptasi antar budaya dan anggota masyarakat setempat, sehingga dikatakan juga sebagai ‘lingkungan komunikasi’.
Menurut proposisi Miller (1982) menyatakan terdapatnya kemungkinan bahwa pengenaan media massa dalam dosis banyak dapat menghambat kemampuan orang untuk berkomunikasi secara antar pribadi. Sebagaimana dikatakan oleh Culberston dan Stempel III (1986), televisi memiliki beberapa kelemahan, antara lain dalam televisi tidak mudah untuk melakukan pencaharian secara terencana sebelumnya mengenai hal-hal yang penting dalam penyiaran berita, serta suatu berita di televisi hanya muncul untuk beberapa saat saja dan pemirsa tidak dapat mengendalikan waktu maupun kesempatan untuk mengulang kembali. Dengan keterbatasan demikian, berita televisi hanya dapat memberikan pengetahuan apabila pemirsa memusatkan perhatian padanya (Culberston dan Stempel III, 1986).
Culberston dan Stempel III (1986) menyatakan bahwa penggunaan media terfokus berhubungan secara lebih positif dan lebih kuat dengan pengetahuan dibandingkan konsumsi berita televisi secara umum. Menurut Gumpert dan Chatcart (1982b), selama ini telah terdapat asumsi bahwa kontak langsung secara tatap muka dengan orang asing merupakan sumber maupun pemecah masalah komunikasi.
Acapkali dikatakan bahwa peningkatan pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat lain dan interaksi antar persona merupakan cara terbaik untuk memperbaiki komunikasi. Dalam segi pengetahuan tentang kelayakan komunikasi ada dua aspek ‘komunikasi non-media massa’ yang berperan secara signifikan atau memberikan kontribusi terhadap perbedaan dua kelompok dalam ‘pengetahuan tentang kelayakan komunikasi’.
Kedua aspek itu adalah ‘mayoritas anggota dalam organisasi/perkumpulan yang diikuti’ dan ‘tingkat keakraban dalam hubungan antar budaya’. Menurut Ting-Too Mey (1989), jika pertemuan antar budaya terjadi dalam kebudayaan yang heterogen dan individualistik, tekanan dari norma dan aturan terhadap pihak-pihak yang berkomunikasi adalah relative lebih sedikit dibandingkan kalau pertemuan itu terjadi dalam kebudayaan yang homogeny dan kolektivistik.
Pada orang yang sudah banyak mendapatkan informasi mengenai masyarakat lain, tanpa berhadapan langsung atau mengalaminya sendiri, bisa terpateri suatu gambaran tertentu yang terus dibawanya dan dijadikannya pedoman dalam berkomunikasi dengan anggota masyarakat tersebut. Dengan gambaran yang dikepalanya itu, ia merasa sudah siap untuk menghadapi lingkungan baru. Akan tetapi seperti Hall (1981) katakan, bagaimanapun siapnya seseorang untuk memasuki lingkungan kebudayaan lain, ia tetap tidak dapat menghindari diri dari hal-hal yang tidak di duga sebelumnya.
 Barna (1985) mengatakan bahwa selama ini cara yang digunakan untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya komunikasi antar budaya yang berhasil adalah dengan mengumpulkan informasi tentang kebiasaan-kebiasaan di negara lain serta penguasaan sedikit bahasanya.Dibanding dengan ‘penggunaan media massa’, ‘komunikasi non-media massa’ terlihat hampir sama besar peranannya terhadap ‘kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya’. Muncul empat variabel yang menunjukkan peranannya, yaitu ‘frekuensi hubungan antar budaya’, ‘bahasa dalam berkomunikasi antar budaya’, ‘tingkat keakraban dalam berkomunikasi antar budaya’ dan ‘mayoritas anggota dalam organisasi yang diikuti’.
 Tentang keefektifan komunikasi tergantung pada tujuan dan rencana apa yang relative hendak dicapai dan dilaksanakan seseorang, dikemukakan juga oleh Gudykunst dan Gumbs (1989), yang kemudian menyarankan bahwa penelitian dimasa mendatang hendaknya memusatkan perhatian pada tujuan individu dalam interaksi antar budaya. Satu faktor disposisional yang paling kuat peranannya baik terhadap ‘anggapan antar pribadi’ maupun ‘penilaian efektif’ ialah ‘perasaan ketika menghadapi perbedaan’.
Maka kemampuan komunikasi dalam situasi antar budaya pada pokoknya banyak terpulang pada diri pelaku adaptasi antar budaya sendiri, yaitu kesiapan dirinya untuk menerima perbedaan-perbedaan. Adaptasi berarti menghargai sistem nilai pihak lain. Tanpa penghargaan ini, ia tidak akan dapat menyesuaikan tingkah laku komunikasinya pada sistem nilai masyarakat lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar