1.
Komunikasi
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dalam menjalankan proses
kehidupan.komunikasi adalah proses yang ada hubungannya dengan tingkah laku
manusia serta pemuasan kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia
lainnya.kebutuhan ini di penuhi melalui saling pertukaran pesan, yang terwujud
dalam tingkah laku. Orang dikatakan bertingkah laku, apabila misalnya ia
berbicara, melambaikan tangan, tersenyum, menggelengkan kepala, atau melakukan
gerak isyarat lainnya.
Tindakan-tindakan itu sering kali merupakan
pesan atau mengandung makna, yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu kepada
orang lain. Apabila berlangsung antara dua atau lebih orang yang berlatar
belakang kebudayaan, proses komunikasi mempunyai dimensi tambahan yang lebih khusus.
Orang belajar untuk berfikir, berperasaan, berkeyakinan dan berusaha sesuai
dengan apa yang dianggap baik oleh kebudayaannya. Dalam hal ini kebudayaan
lebih dilihat sebagai (Asante, newmark dan black, 1979) : “jumlah keseluruhan
keyakinan dan nilai yang dianut manusia baik secara individual maupun
kolektif”.
Kebudayaan
dan komunikasi tidak dapat dipisahkan karena kebudayaan tidak saja menentukan
siapa berbicara dangan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi seharusnya
berlangsung, tetapi juga mengenai bagaimana pesan sebaiknya dirumuskan.
Komunikasi antar budaya didefinisikan antara lain sebagai “ penyampaian dan
penerimaan pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan dengan hasil atau akibat
yang berbeda-beda” (Dodd, 1982).
macam-macam
akibat yang dapat mungkin dihasilkan antara lain perubahan sosial, akulturasi,
saling pengertian, dan persahabatan, di satu pihak, atau kebencian, permusuhan,
peperangan, dipihak lainnya. Dewasa ini, perkembangan alat perhubungan dan
teknologi komunikasi yang semakin rumit dan canggih, meningkatkan hubungan yang
mulanya terkendala oleh waktu maupun jarak ruang.
Dunia semakin terasa sempit, sekarang dihuni
oleh manusia-manusia yang bersifat dinamik da mobil. Orang semakin mudah untuk
berkunjung atau tinggal di suatu lokasi kebudayaan yang jauh dan tidak pernah
dikenal sebelumnya. Konsep tentang dirinya, bahasanya, kunjungan atau
persinggahan ini didasari oleh beraneka ragam kepentingan atau minat, yang
mewarnai arus hubungan dalam dunia international saat ini.
Kesempatan
bagi orang untuk memperoleh informasi yang diinginkannya secara langsung dari
seluruh penjuru dunia dewasa ini semakin terbuka. Masing-masing orang dapat
memiliki sumber informasinya sendiri.terutama dengan munculnya satelit
komunikasi, jurang informasi dapat diperkecil. Dalam konteks yang melampaui
batas Negara atau batas kebudayaan. Maka melalui arus informasi, penduduk dunia
dimana-mana menjadi bersifat “global”.
Terutama
dengan adanya perkembangan saat ini yang menjadikan dunia seakan tidak terbatas
lagi antar Negara (ohmae, 1992) dan orang semakin tidak mungkin lagi menhindari
pertemuan dengan orang lain yang sangat berbeda latar belakang kebudayaannya,
makakebutuhan untuk mempelajari proses penyesuaian diri oleh pendatang di suatu
tempat baru, sebagai salah satu aspek dari komunikasi antar budaya, kiranya
semakin mendesak untuk dilakukan. Untuk melaksanakan kelangsungan hidupnya,
setiap pendatang ke suatu lingkungan sosial budaya baru terpaksa harus
melakukan proses penyesuaian diri, atau
yang disebut oleh kim sebagai “adaptasi antar budaya” istilah adaptasi digunakan oleh kim sebagai
suatu konsep yang mewakili macam-macam istilah lainnya, seperti asimilasi,
akulturasi, integrasi dan penyesuaian diri .
berdasarkan pokok permasalahan serta rincian
permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini bertujauan untuk: 1.
Memperoleh gambaran mengenai peranan dari pengenaan pesan media massa terhadap
kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. 2.
Mengetahui kemungkinan peranan dari aspek komunikasi manusia lainnya, yaitu
komunikasi non-media massa, terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam
konteks adaptasi antar budaya. 3. Mengetahui kemungkinan peranan dari
factor-faktor lain diluar kegiatan komunikasi manusia terhadap kemampuan
komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Secara praksis.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pegangan
untuk bertindak bagi mereka yang telah,
sedang, maupun akan menjalani proses adaptasi antar budaya.
Baik
komunikasi melalui media massa maupun komunikasi non-media massa merupakan
bagian dari komunikasi sosial (kim, 1985). Maka telaah mengenai kedua macam
kegiatan komunikasi itu dalam proses
adaptasi antar budaya dapat dianggap secara menyeluruh sebagai kajian tentang
komunikasi sosial dalam proses adaptasi anta budaya. Studi ini tidak menutup
kemungkinan adanya factor-faktor lain diluar unsure kegiatan komunikasi manusia
sendiri, yang turut menentukan kemampuan pelaku adaptasi antar budaya dalam
berkomunikasi dengan lingkungannya.
Akhirnya, alasan pemilihan praktis yang
kiranya perlu juga dikemukakan adalah bahwa penelitian selama ini telah menetap
untuk beberapa waktu . keadaan ini peneliti anggap sebagai suatu keuntungan,
karena dengan demikian proses adaptasi antar budaya yang menjadi obyek
penelitian dapat diamati dan didalami secara langsung.
Studi
ini dilaksanakan dengan kesadaran akan adanya keterbatasan metodologis yang
terkandung di dalamnya. Keterbatasan terpokok adalah bahwa konsep kemampuan
komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya hanya akan diukur dari
penelitian subjectif pihak pelaku adaptasi antar budaya secara sepihak saja.
Khususnya yang menyangkut indicator penilaian tentang kefektifan komunikasi dan
pengetahuan tentang kelayakan komunikasi, ukuran yang dipergunakan akan
bersifat menekankan pada hubungan “relasional”, bilamana yang dilihat adalah
bagaimana keduanya itu dipersepsikan oleh orang lain yang menjadi lawan
komunikasi pelaku adaptasi antar budaya.
Keterbatasan
lainnya adalah jumlah sempel penelitian yang relative sedikit dan penarikan
sempel yang terpaksa bersifat”non-probabilita”. Namun hal ini tidak dapat
dihindari, berhubung untuk studi ini jumlah populasi yang pasti tidak
diketahui.
2.
Tujuan
dari bagian ini adalah untuk memberikan tinjauan tentang berbagai perspektif
teoritik yang berkaitan dengan tema pokok penelitian ini. Serta beberapa studi
yang pernah dilakukan. Untuk itu, maka membahasan akan dibagi kedalam beberapa
sub-bab, yakni pengertian adaptasi antar budaya, unsure-unsur komunikasi sosial
dalam adaptasi antar budaya, penggunaan media massa, kemampuan komunikasi ‘antar
pribadi’dalam konteks antar budaya.
Untuk
menegrti pengertian mengenai ‘adaptasi antar budaya’perlu dipahami dahulu
fungsi ‘adaptasi’ bagi sistem hidup manusia. Pembahasan tentang ‘adaptasi’
dapat dilakukan antar lain dengan berpihak pada tinjauan mengenai
‘sistem’.Ruben(1983) secara khusus melihat pengertian sistem dari sudut pandang
komunikasi. Sistem hidup, menurut Ruben (1983). Termasuk dalam kategori ‘
sistem terbuka’ dan merupakan pokok perhatian utama dalam mempelajarai hakekat
komunikasi manusia. Sistem hidup manusia bersifat ‘adaptif’ dalam pengertian
tujuan, yaitu sejauh sistem itu berjalan untuk memuaskan kebutuhan dan
kehendaknya. Bagi individu manusia, proses adaptasi ke dalam lingkungan
mancakup penyesuaian diri pada symbol-simbol dan obyek-obyek. Yang maknannya
merupakan hasil dari kegiatan komunikasi orang-orang lain. Akibatnya , ia
dibentuk oleh lingkungan, tetapi dalam bertingkah laku iapun dapat membentuk
lingkungan (Roben, 1983).
Saejauh
para anggota dari suatu kelompok masyarakat memiliki bersama symbol, makna,
struktur aturan, kebiasaan, nilai, cara pemrosesan informasi, pola transformasi
serta kebiasaan yang sama, maka dapat dikatakan mereka memiliki suatu
“kebudayaan”. Dalam masing-masing hubungan tersebut, setiap individu melakukan
penyesuaian dengan pola pemikiran dan pola komunikasi ndividu atau
individu-individu lainnya. Yang mungkin bersifat unik atau berlaku khusus bagi
suatu bentuk saja. Akibatnya, masing-masing bentuk hubungan memiliki kebudayaan
atau subkebudayaannya sendiri.
Bilamana
seorang individu dengan tingkah laku, pola berfikir dan struktur aturan yang
telah dikembangkan dalam lingkungan kebudyaan tertentu, memperhatikan ataupun
diperhatikan serta berhubungan dengan individu lain yang tingkah laku, pola
piker dan struktur aturannya telah dikembangkan dalam lingkungan kebudayaan
lain, maka terjadilah apa yang disebut “ komunikasi antar budaya”. Pemikiran bahwa
komunikasi antar budaya umumnya mencakup derajat tertentu, tatkala individu
berusaha untuk melakukan penyesuaian diri dengan orang lain di lingkungannya,
yang memiliki orientasi kebudayaan berbeda darinya.
Sehubungan
dengan perspektif ‘sistem’ dalam memandang komunikasi, Ruben menyatakan, bahwa
kita tidak dapat mempelajari dan memahami salah satu bentuk komunikasi manusia
secara terpisah dari jenis-jenis komunikasi manusia lainya. Masing-masing
bentuk merupakan bagian dari suatu jaringan kompleks kegiatan komunikasi yang
saling berhubungan secara fungsional dalam sistem-sistem individu-jamak. Fungsi
dasar dari jaringan ini adalah pemrosesan informasi (Ruben, 1983).
Dalam
menganalisis proses adaptasi antar budaya dari titik pandang komunikasi, kim
melihat perspektif ‘sistem’ sebagai salah satu kerangka konseptual yang paling
komprehensif dan berguna. Dalam perspektif sistem, pendatang sebagai unsure
dasar dari sistem komunikasi manusia merupakan mahkluk aktif yang mencari dan
menghendaki komunikasi dengan lingkungan. Sebagai sistem komun ikasi terbuka,
ia berinteraksi dengan lingkungan melalui dua proses yang satu sama lain saling
berhubungan, yakni ‘komunikasi personal’ dan ‘komunikasi sosial’ (kim, 1985).
Selain
deskripsi demografik, analisis terhadap kelompok masarakat tersebut juga
dilakukan dengan berpatokan pada konsep-konsep pokok yang digunakan dalam studi
ini, yaitu konsep tentang ‘faktor disposisional’, ‘faktor situasional’,
‘komunikasi non-media massa’, ‘penggunaan media massa’, dan ‘kemampuan
komunikasi antar pribadi’. Profil tentang kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran penelitian ini pada pokoknya disusun berdasar pada data dari apa yang
dilaporkan oleh responden sendiri (“self reporting data”), ditambah hasil
pengamatan di lapangan. Dikemukakan oleh Berlund dan Nomura (1985), beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan jenis kelamin,
kebudayaan lebih berpengaruh terhadap jalannya interaksi.
Juga
Kim (1986), dalam bahasan tentang potensiuntuk berakulturasi (“acculturation
potential”) yang tidak lain merupakan factor disposisional, mengemukakan bahwa
di antara karakteristik demografik, umur dan latar belakang pendidikan telah
ditemukan secara signifikan berhubungan dengan potensi tersebut. Sedangkan
jenis kelamin tidak disebutkan sama sekali.
Untuk
analisis diskriptif, factor disposisional responden dalam studi ini dibagi ke
dalam tiga pembagian besar, yaitu: 1. Pengalaman hidup, yang mencakup
pendidikan, pekerjaan, lama menetap, pengetahuan tentang masyarakat setempat
sebelum menetap dan sumber pengetahuan sebelum menetap; 2. Kecenderungan
adaptif, yang mencakup usaha memperoleh pengetahuan tentang masyarakat setempat
sesudah menetap, sumber pengetahuan sesudah menetap, usaha menggunakan bahasa
masyarakat setempat, perasaan menghadapi perbedaan antara keadaan setempat
dengan keadaan di tempat asal, kegiatan di waktu senggang; 3. Harapan atau
ekspektasi, yang meliputi rencana lama menetap keseluruhan dan piliha ideal
tempat tinggal.
Faktor
situasional merupakan keadaan lingkungan setempat yang dapat mendorong atau
sebaliknya menghambat komunikasi antara pelaku adaptasi antar budaya dan
anggota masyarakat setempat, sehingga dikatakan juga sebagai ‘lingkungan
komunikasi’.
Menurut
proposisi Miller (1982) menyatakan terdapatnya kemungkinan bahwa pengenaan
media massa dalam dosis banyak dapat menghambat kemampuan orang untuk
berkomunikasi secara antar pribadi. Sebagaimana dikatakan oleh Culberston dan
Stempel III (1986), televisi memiliki beberapa kelemahan, antara lain dalam
televisi tidak mudah untuk melakukan pencaharian secara terencana sebelumnya
mengenai hal-hal yang penting dalam penyiaran berita, serta suatu berita di
televisi hanya muncul untuk beberapa saat saja dan pemirsa tidak dapat
mengendalikan waktu maupun kesempatan untuk mengulang kembali. Dengan
keterbatasan demikian, berita televisi hanya dapat memberikan pengetahuan
apabila pemirsa memusatkan perhatian padanya (Culberston dan Stempel III,
1986).
Culberston
dan Stempel III (1986) menyatakan bahwa penggunaan media terfokus berhubungan
secara lebih positif dan lebih kuat dengan pengetahuan dibandingkan konsumsi
berita televisi secara umum. Menurut Gumpert dan Chatcart (1982b), selama ini
telah terdapat asumsi bahwa kontak langsung secara tatap muka dengan orang
asing merupakan sumber maupun pemecah masalah komunikasi.
Acapkali
dikatakan bahwa peningkatan pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat lain dan
interaksi antar persona merupakan cara terbaik untuk memperbaiki komunikasi.
Dalam segi pengetahuan tentang kelayakan komunikasi ada dua aspek ‘komunikasi
non-media massa’ yang berperan secara signifikan atau memberikan kontribusi
terhadap perbedaan dua kelompok dalam ‘pengetahuan tentang kelayakan
komunikasi’.
Kedua
aspek itu adalah ‘mayoritas anggota dalam organisasi/perkumpulan yang diikuti’
dan ‘tingkat keakraban dalam hubungan antar budaya’. Menurut Ting-Too Mey
(1989), jika pertemuan antar budaya terjadi dalam kebudayaan yang heterogen dan
individualistik, tekanan dari norma dan aturan terhadap pihak-pihak yang
berkomunikasi adalah relative lebih sedikit dibandingkan kalau pertemuan itu
terjadi dalam kebudayaan yang homogeny dan kolektivistik.
Pada
orang yang sudah banyak mendapatkan informasi mengenai masyarakat lain, tanpa
berhadapan langsung atau mengalaminya sendiri, bisa terpateri suatu gambaran
tertentu yang terus dibawanya dan dijadikannya pedoman dalam berkomunikasi
dengan anggota masyarakat tersebut. Dengan gambaran yang dikepalanya itu, ia
merasa sudah siap untuk menghadapi lingkungan baru. Akan tetapi seperti Hall
(1981) katakan, bagaimanapun siapnya seseorang untuk memasuki lingkungan
kebudayaan lain, ia tetap tidak dapat menghindari diri dari hal-hal yang tidak
di duga sebelumnya.
Barna (1985) mengatakan bahwa selama ini cara
yang digunakan untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya komunikasi antar
budaya yang berhasil adalah dengan mengumpulkan informasi tentang
kebiasaan-kebiasaan di negara lain serta penguasaan sedikit bahasanya.Dibanding
dengan ‘penggunaan media massa’, ‘komunikasi non-media massa’ terlihat hampir
sama besar peranannya terhadap ‘kemampuan komunikasi antar pribadi dalam
konteks antar budaya’. Muncul empat variabel yang menunjukkan peranannya, yaitu
‘frekuensi hubungan antar budaya’, ‘bahasa dalam berkomunikasi antar budaya’,
‘tingkat keakraban dalam berkomunikasi antar budaya’ dan ‘mayoritas anggota
dalam organisasi yang diikuti’.
Tentang keefektifan komunikasi tergantung pada
tujuan dan rencana apa yang relative hendak dicapai dan dilaksanakan seseorang,
dikemukakan juga oleh Gudykunst dan Gumbs (1989), yang kemudian menyarankan
bahwa penelitian dimasa mendatang hendaknya memusatkan perhatian pada tujuan
individu dalam interaksi antar budaya. Satu faktor disposisional yang paling
kuat peranannya baik terhadap ‘anggapan antar pribadi’ maupun ‘penilaian
efektif’ ialah ‘perasaan ketika menghadapi perbedaan’.
Maka
kemampuan komunikasi dalam situasi antar budaya pada pokoknya banyak terpulang
pada diri pelaku adaptasi antar budaya sendiri, yaitu kesiapan dirinya untuk
menerima perbedaan-perbedaan. Adaptasi berarti menghargai sistem nilai pihak lain.
Tanpa penghargaan ini, ia tidak akan dapat menyesuaikan tingkah laku
komunikasinya pada sistem nilai masyarakat lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar