Bangsa Indonesia yang
memiliki banyak budaya, suku dan agama. Dan terlebih lagi terhalang antara satu
pulau ke pulau yang lain membuat masyarakatnya menjadi masyarakat yang sangat
beragam. Sebagai mana menurut hary yuswadi dalam bukunya system social budaya Indonesia dia menulis
dalam bab struktur masyarakat Indonesia yaitu. ”mungkin anda sudah menyadari
bahwa masyarkat Indonesia terdiri dari berbagai jenis suku bangsa, adat
istiadat, nilai-nilai dari berbagai institusi atau organisasi, budaya, bahasa,
agama, dan sebagainya. Anda pun tahu bahwa semua itu merupakan satu kesatuan,
membentuk satu identitas,dan solidaritas yaitu masyarakat Indonesia. Nasikun
(1984) menyebutkan masyarakat yang demikian ini sebagai masyarakat majemuk.
Dalam memberikan definisi masyarakat majemuk, niskun mengacu pada beberapa
tokoh seperti furnival, Cyril S, balshaw, Clifford geert, dan pierre L. van,
den berghe (Nasikun, 1984:35-36)”. Menurutnya dalam masyarakat juga memiliki
banyak kelompok-kelompok atau pun institusi social yang berbeda satu sama lain,
dan kesemuanya itu merupak rangkaian yang membentuk struktur. Dari perbedaan
yang ada dalam setiap kelompok atau institusi social tersebut menurutnya akan
memunculkan peta persaingan yang nyata diantara kelompok-kelompok tersebut yang
nantinya berujung pada adanya konflik.
Tetapi ditengah banyaknya
kelompo-kelompok yang saling berbeda satu sama lain dan memiliki keinginan yang
berbeda. Beliau mengatakan Indonesia sangat menakjubkan, betapa tidak, dengan
sedemikian banyak sub-subelemen yang bercorak budaya sendiri-sendiri, mampu
hidup di dalam satu dasar, wawasan, dan tujuan bersama, baginya memang tidak
dapat diingkari realitas sejarah yang menunjukkan bahwa integrasi dari seluruh
subelemen yang ada memerlukan proses yang cukup panjang. Tidak sekali jadi.
Bahkan kita merasakan proses ini masih sedang berjalan terus menerus.
Bangsa Indonesia dan
terlebih masyarakatnya memandang penting Integrasi yang terjadi dalam
masyarakat Indonesia yang beraneka ragam suku bangsa, adat istiadat, dan bahasa
ini beliau memahaminya bahwa masyarakat Indonesia tidak hanya sekedar
masyarakat yang majemuk, tetapi masyarakat yang super majemuk di bandingkan
dengan masyarakat yang berada di daerah asia tenggara.
Dalam bukunya beliau menulis
tentang sudut teory structural
fungsional , beberapa asumsi dasar dari teori structural fungsional tentang
masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Masyarakat dipandang sebagai satu system
dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan bergantung satu sama lain. 2.
hubungan antara bagian-bagian terseburt bersifat ganda, timbale balik dan
saling pengaruh mempengaruhi. 3. walaupun integrasi social tidak pernah dapat
dicapai secara sempurna, tetapi secara mendasar system social selalu cenderung
berproses kea rah keseimbangan (equilibrium) yang dinamis. Sehingga
perubahan-perubahan yang sumbernya datag dari luar ditanggapi oleh keseimbngan
itu dengan memelihara sedapat mungkin agar perubahan-perubahan tersebut hanya
terjadi pada tarafnya yang minimum. 4. Disfungsi, ketegangan-ketegangan, maupun
penyimpangan-penyimpangan secara wajar bisa saja terjadi di dalam system social
tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut akan dapat diatasi melalui
penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. 5. Kalaupun terjadi
perubahan-perubahan didalam system social, tidak secara revolusioner. Perubahan
mungkin drastic tetapi hanya pada bentuk luarnya saja. Perubahan pada
unsure-unsur social budaya sebagai bangunan dasarnya akan berubah secara
bartahap melalui penyesuaian-penyesuaian. 6. Ada tiga factor kemungkinan
penyebab terjadinya perubahan-perubahan social. Melalui penyesuaian-penyesuaian
yang dilakukan oleh system social terhadap perubahan-perubahan yang datang dari
luar, pertumbuhan melalui proses diferensiasi fungsional dan structural, serta
penemuan-penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat. 7. Factor yang
terpenting untuk mengintegrasikan system social adalah consensus dari anggota
masyarakat mengenai nilai-nilai kehidupan tertentu yang terdapat dalam
masyarakat tersebut.
Kalau diamati teori
funsional structural ini menekankan kepada keserasian, konformitas, dan
consensus di dalam masyarakat. Masyarakat dianggap sebagai suatu system yang
seimbang dan normal. Jika ada suatu konflik yang terjadi di dalam masyarakat
sebagaimana halnya yang dialami masyarakat kita sejak kemerdekaan, hal tersebut
hanyalah sekedar ketegangan dan penyimpangan. Ketegangan dan penyimpangan
tersebut akhirnya, menurut teori ini akan kembali kepada kondisi normal.
Beliau tidak hanya menulis
teori fungsional structural saja yang menekankan pada keseimbangan dan
integrasi yang terjadi dalam masyarakat tetapi beliau juga membahas juga dan menulis
sudut pandang teori konflik sebagai pembandingnya, menurutnya sakarang marilah
kita lihat bagaimana ralf dahrendorf mengemukakan pendapatnya yang dapat mewakili teori
konflik—suatu kelompok teori yang juga berpengaruh di dalam sosiologi. Teori
ini oleh pengikutnya dianggap dapat menutupi kelemahan teori fungsional
structural.
Didalam American journal of
sociology, dahrendorf menulis sebagai berikut: “memusatkan pemikiran ke masa
depan tidak hanya pada kondisi konkret yang indah-indah belaka tetapi juga pada
masalah-masalah yang melibatkanberbagai halangan seperti konflik dan juga
perubahan. Wajah jelek dari masyarakat mungkin menimbulkan hal yang kurang
menyenangkan bagi kita, tetapi kalau semua ahli sosiologi dengan mudah
melarikan diri ke utopia, tidak ada harganya kita sebagai sosiolog” (Dahrendorf,1958:127).
Untuk melepaskan diri dari
kungkungan utopia itu, dahrendorf memerlukan satu model teori konflik sebagai
substansi model teori fungsional structural. Perlu untuk diingat bahwa
perspektif konflik yang ditawarkan oleh darendorf ini bukan merupakan
satu-satunya wajah dari masyarakat, melaikan sebagai pelengkap penting yang
akan merubah pendangan fungsional structural yang dianggap kurang sesuai
(adekwat).
Model yang lahir dari sudut
pandang dahrendorf ini disebut sebagai perspektif konflik dialektika dan
dianggap lebih sesuai dengan apa yang berlaku didunia dibandingkan teori
fungsional structural. Bagi dahrendorf, pelambang di dalam masyarakat
melibatkan pembentukan apa yang disebut sebagai asosiasi terkoordinasi secara
imperative (imperatively coordinated associations) atau disingkat dengan ICA
yang diwakili organisasi-organisasi yang berperan penting dalam masyarakat yang
bergerak dalam bergeraknya sebuah kekuasaan. Ia bisa berbentuk unit social yang
berwujud kelompok kecil maupun kelompok besar, baik formal maupun non-formal.
ICA cenderung menjadi terlegitimasi (tersahkan). Oleh karenanya,
hubungan-hubungan tersebut dapat dipandang sebagai hubungan-hubungan otoritas. Denngan
demikian ICA, ketertiban social dijaga dan dipelihara oleh proses-proses yang
menciptakan hubunhan otoritas didalam setiap tipe kekuasaan dari ICA yang hidup
didalam seluruh batang tubuh system social. Jadi dapat dilihat disini bahwa
kekuasaan dan otoritas merupakan sumber yang langka, di mana setiap subkelompok
dalam masyarakat dengan ICA mereka berkompetisi untuk memperebutkannya, dapat
dilihat disini bahwa kekuasaan dan otoritas merupakan sumber konflik yang
primer dalam masyarakat. Karena kepentingan-kepentingannya yang terikat pada
setiap peran adalah suatu fungsi langsung dari mana suatu peranan itu akan
memiliki otoritas dan kekuasaan yang lebih dari pada yang lain.
Apabila system social dalam
keadaan demikian, maka realitas social dapat digambarkan sebagai suatu putaran
konflik yang tak pernah berakhir di dalam berbagai tipe ICA suatu system
social. Perlu untuk dipahami bahwa konflik dapat terjadi didalam keseluruhan
masyarakat dimana situasi konflik ditimbulkan oleh berbagai ICA. Jadi, seperti
yang telah diakui oleh dahrendorf, bahwa citra masyarakat yang dibayangkan
diatas merupakan suatu revisi dari gambarang karl marx tentang realitas social
yang beberapa isinya adalah sebagai berikut: 1. Dahrendorf dan marx memandang
system social berada didalam konflik yang terus menerus (continual state of
conflict). 2. Kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan itu dipandang sebagai
refleksi dari perbedaan-perbedaan dalam distribusi kekuasaan antar kelompok
yang mendominasi dan kelompok-kelompok yang mendominasi. 3. Konflik hanya dapat
diatasi oleh kekuasaan yang dihimpun di dalam ICA, ICA yang dominan dengan
sendirinya dapat meredam konflik. Pandangan marx menyatakan bahwa sumber
konflik adalah nilai-nilai cultural dan pengaturan-pengaturan kelembagaan yang
mewakili kepentingan dan diciptakan oleh penguasa, sedangkan dahrendorf
menganggap bahwa sumber konflik adalah hubungan-hubungan kewenangan adalah
“superstruktur” yang menciptakan oleh kelas penguasa dan dalam jangka panjang
akan diruntuhkan oleh adanya dinamika konflik.
Dengan adanya dua teori
tersebut diharapkan kita dapat secara mudah dan gampang dalam memahami
masyarakat yang sangat beragam, seperti Indonesia yang disebutkan diata sebagai
contoh masyarakat yang “supermajemuk” dengan keaneka ragamannya, saya rasa dari
kedua teori ini saling berjalan seiringan dalam memahami masyarakat itu
sendiri, sehingga tidak dapat terpisahkan antara keduanya dan kita daharapkan
dapat membaca situasi yang terjadi dalam masyarakat apakah suatu masyarakat tersebut
fungsional structural atau pun teori konflik yang sedang berkerja di dalamnya untuk mengupayakan dan
menciptakan keseimbangan dalam masyarakat.
SUMBER RUJUKAN
Bustami Rahman dan hary
yuswadi. 2004. Sistem Sosial Budaya
Indonesia. Jember: Kelompok peduli budaya dan wisata daerah jawa timur
(kompyawisda JATIM).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar