Selasa, 11 Juni 2013

PERSOALAN KEMISKINAN



Kemiskinan merupakan salah problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam membahas masalah ini adalah indetifikasi apa sebenarnya yang di maksud dengan miskin atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya. Konsep yang berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang berbeda pula. Konsep kemiskinan paling tidak ada tiga konsep kemiskinan, yaitu : kemiskinan absolute, kemiskinan relative dan kemiskinan subjective.
 Konsep kemiskinan absolute dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang konkret (a fixed yardstick). Ukuran itu lazimnya berorientasi pada kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Konsep kemiskinan semacam itu telah banyak mendapat kritik antara lain yang mengatakan bahwa hampir tidak mungkin membuat satu ukuran untuk semua anggota masyarakat. Contohnya kebutuhan masyarakat desa yang berbeda dengan masyarakat perkotaan.
Konsep kemiskinan relative dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Konsep kemiskinan semacam ini lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan (in terms of judgment) anggota masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Konsep ini juga banyak menerima keritik karena ukuran kelayakan ternyata beragam pada setiap daerah.
Sedang dalam masalah kemiskinan dilihat dari perspektof situasional memandang sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi capital dan produk-produk teknologi modern. Penetrasi capital antara lain mengejawantah dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan.
Program-program pembangunan macam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil produksi secara besar-besaran, tetapi ternyata hanya kelompok kaya yang dapat memanfaatklan surplus itu. Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersamaan dengan perkembanagn teknologi modern. Sehingga membuat mereka lebig cepat berkembang. Kemudian berkaitan dengan fungsi lembaga, dalam rangka menunjang introduksi teknologi baru,di bentuk lembaga-lembaga ekonomi. Lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan karena  dengan  adanya perubahan teknologi, fungsi produksi, struktur pasar dan prefensi konsumen ikut berubah. Kedua hal tersebut dituduh menciptakan “kolonialisme internal” dalam kehidupan masyarakat.
Apabila kita menganggap bahwa akar kemiskinan berkaitan dengan factor cultural, kita perlu menyusul strategi yang mampu meningkatkan etos kerja kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola piker yang melihat ke masa depan, dan menata kembali institusi-institusi ekonomi kita supaya dapat mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok miskin. Sedangkan apabila kita menganggap bahwa kemiskinan berakar pada masalah structural, strategi pembangunan kita perlu dirubah, Kemiskinan yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi suatu negara atau kawasan berkorelasi struktural. Bahkan industrialisasi perkotaan yang memunculkan berbagai istilah kutub pertumbuhan (growth pole) sebagaimana yang dikatakan oleh Lausen, (1972) dan Hermansen, (1972) dengan istilah  "development poles,  growth center,  growth areas, growing points, development nuclei, core areas, core regions, and regional centers" yang diharapkan berfungsi sebagai mesin pertumbuhan utama (the essential engines of growth) ternyata telah  memunculkan persoalan ketimpangan sosial ekonomi. Apalagi industri yang sifatnya berbasis di perkotaan (urban based industry) memunculkan "urban bias" yakni terkonsentrasi pembangunan di perkotaan yang kemudian dikritik oleh Lipton (1977) dengan istilah "mal-distribution with growth" yakni gagalnya upaya pemerataan pembangunan dengan pertumbuhan atau dikenal dengan terminologi "economic growth without social equity", suatu kondisi kenapa orang miskin terbelenggu dengan kemiskinannya (why poor people stay poor).(Syamsul Bahrum, 2012)
Secara sosiologis, dimensi structural kemiskinan dapat ditelusuri melalui institusional arrangement yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita. Kemiskinan semacam itu justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dirancang serta dari pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi itu sendiri.
Di pedesaan, telah sejak lama terjadi apa yang lazim disebut green revolution, yaitu suatu bentuk transformasi yang dahsyat dari sistem pertanian sederhana menjadi sistem pertanian modern. Transformasi tersebut dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan yang sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan national.

Hampir semua perguruan tinggi negeri di Indonesia, dalam beberapa tahun ini mendapatkan kucuran anggaran yang lumayan besar. Anggaran untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar kini semakin besar.tetapi siapa yang menikmati semua itu? Kelihatannya, kebanyakan adalah anak-anak dari golongan atas atau dari menengah keatas.disini, kerapkali tampak adanya kepincangan. Disatu pihak, mahasiswa dari keluarga kaya memperoleh subsidi pendidikan karena dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Di pihak lain mahasiswa dari keluarga yang relatife miskin harus membayar mahal(bukan tidak mungkin mereka dieksploitasi) karena hanya diterima di perguruan tinggi swasta.
Secara jujur, harus diakui bahwa belum benyak jumlah perguruan tinggi kita(baik negeri maupun swasta) yang sudah mampu menghasilkan sarjana-sarjana mandiri dan secara professional dapat menciptakan atau mengisi kesempatan kerja. Kualitas mereka belum begitu memuaskan. Tidak mudah menerangkan mengapa kenyataan semacam ini masih terus menjadi. Masih banyak staf pengajar yang belum benar-benar memiliki kualitas dan integritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar