Kemiskinan
merupakan salah problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu
dilakukan dalam membahas masalah ini adalah indetifikasi apa sebenarnya yang di
maksud dengan miskin atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya. Konsep yang
berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang berbeda pula. Konsep kemiskinan
paling tidak ada tiga konsep kemiskinan, yaitu : kemiskinan absolute,
kemiskinan relative dan kemiskinan subjective.
Konsep kemiskinan absolute dirumuskan dengan
membuat ukuran tertentu yang konkret (a fixed yardstick). Ukuran itu lazimnya
berorientasi pada kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai
acuan memang berlainan. Konsep kemiskinan semacam itu telah banyak mendapat
kritik antara lain yang mengatakan bahwa hampir tidak mungkin membuat satu
ukuran untuk semua anggota masyarakat. Contohnya kebutuhan masyarakat desa yang
berbeda dengan masyarakat perkotaan.
Konsep
kemiskinan relative dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu
dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Konsep kemiskinan semacam ini
lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan (in terms of judgment) anggota
masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Konsep
ini juga banyak menerima keritik karena ukuran kelayakan ternyata beragam pada
setiap daerah.
Sedang
dalam masalah kemiskinan dilihat dari perspektof situasional memandang sebagai
dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi capital dan
produk-produk teknologi modern. Penetrasi capital antara lain mengejawantah
dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan
dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan.
Program-program
pembangunan macam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil produksi secara
besar-besaran, tetapi ternyata hanya kelompok kaya yang dapat memanfaatklan
surplus itu. Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak untuk
mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersamaan dengan perkembanagn
teknologi modern. Sehingga membuat mereka lebig cepat berkembang. Kemudian
berkaitan dengan fungsi lembaga, dalam rangka menunjang introduksi teknologi
baru,di bentuk lembaga-lembaga ekonomi. Lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan
karena dengan adanya perubahan teknologi, fungsi produksi,
struktur pasar dan prefensi konsumen ikut berubah. Kedua hal tersebut dituduh
menciptakan “kolonialisme internal” dalam kehidupan masyarakat.
Apabila
kita menganggap bahwa akar kemiskinan berkaitan dengan factor cultural, kita
perlu menyusul strategi yang mampu meningkatkan etos kerja kelompok miskin,
meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola piker yang melihat ke masa
depan, dan menata kembali institusi-institusi ekonomi kita supaya dapat
mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok miskin. Sedangkan apabila kita menganggap
bahwa kemiskinan berakar pada masalah structural, strategi pembangunan kita
perlu dirubah, Kemiskinan yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi suatu negara
atau kawasan berkorelasi struktural. Bahkan industrialisasi perkotaan yang
memunculkan berbagai istilah kutub pertumbuhan (growth pole) sebagaimana yang
dikatakan oleh Lausen, (1972) dan Hermansen, (1972) dengan istilah
"development poles, growth center, growth areas, growing
points, development nuclei, core areas, core regions, and regional centers"
yang diharapkan berfungsi sebagai mesin pertumbuhan utama (the essential
engines of growth) ternyata telah memunculkan persoalan ketimpangan
sosial ekonomi. Apalagi industri yang sifatnya berbasis di perkotaan (urban
based industry) memunculkan "urban bias" yakni terkonsentrasi
pembangunan di perkotaan yang kemudian dikritik oleh Lipton (1977) dengan
istilah "mal-distribution with growth" yakni gagalnya upaya
pemerataan pembangunan dengan pertumbuhan atau dikenal dengan terminologi "economic
growth without social equity", suatu kondisi kenapa orang miskin
terbelenggu dengan kemiskinannya (why poor people stay poor).(Syamsul Bahrum, 2012)
Secara sosiologis, dimensi structural kemiskinan dapat ditelusuri melalui
institusional arrangement yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita.
Kemiskinan semacam itu justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan
strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dirancang serta dari pengambilan
posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi itu
sendiri.
Di pedesaan, telah sejak lama terjadi apa yang lazim disebut green
revolution, yaitu suatu bentuk transformasi yang dahsyat dari sistem pertanian
sederhana menjadi sistem pertanian modern. Transformasi tersebut dilakukan
melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk
menghasilkan pangan yang sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan national.
Hampir semua perguruan tinggi negeri di Indonesia, dalam beberapa tahun
ini mendapatkan kucuran anggaran yang lumayan besar. Anggaran untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar kini semakin
besar.tetapi siapa yang menikmati semua itu? Kelihatannya, kebanyakan adalah
anak-anak dari golongan atas atau dari menengah keatas.disini, kerapkali tampak
adanya kepincangan. Disatu pihak, mahasiswa dari keluarga kaya memperoleh
subsidi pendidikan karena dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Di pihak
lain mahasiswa dari keluarga yang relatife miskin harus membayar mahal(bukan
tidak mungkin mereka dieksploitasi) karena hanya diterima di perguruan tinggi
swasta.
Secara jujur, harus diakui bahwa belum benyak jumlah perguruan tinggi
kita(baik negeri maupun swasta) yang sudah mampu menghasilkan sarjana-sarjana
mandiri dan secara professional dapat menciptakan atau mengisi kesempatan
kerja. Kualitas mereka belum begitu memuaskan. Tidak mudah menerangkan mengapa
kenyataan semacam ini masih terus menjadi. Masih banyak staf pengajar yang
belum benar-benar memiliki kualitas dan integritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar